Monday, October 6, 2014

BILL OF LADING

Kelompok Dendrobium
Alfatih Muharen
Ahmad Budi
Fajar AlHadi
Farania Rezkita
Nuke Annisa
 
Bill Of Lading

Contoh Bill Of Lading




Pengertian Bill Of Lading



A. DEFINISI

Bill of Lading (B/L) atau biasa disebut juga Konosemen adalah surat tanda terima barang yang telah dimuat di dalam kapal laut yang juga merupakan tanda bukti kepemilikan barang dan juga sebagai bukti adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan barang melalui laut. Banyak istilah yang pengertian dan maksudnya sama dengan B/L seperti Air Waybill untuk pengangkutan dengan pesawat udara, Railway Consignmnet Note untuk pengangkutan menggunakan kereta api dan sebagainya.

Untuk lebih memudahkan pemahaman disini kita menggunakan istilah B/L. Dalam bahasa Indonesia B/L sering disebut dengan konosemen, merupakan dokumen pengapalan yang paling penting karena mempunyai sifat jaminan atau pengamanan. Asli B/L menunjukkan hak pemilikan atas barang-barang dan tanpa B/L seseorang atau pihak lain yang ditunjuk tidak dapat menerima barang-barang yang disebutkan di dalam B/L.



B. PIHAK-PIHAK YANG TERCANTUM DALAM B/L


Penggunaan B/L sebagai bagian dari dokumen yang dibutuhkan dalam perdagangan ekspor impor melibatkan berbagai pihak, antara lain:

  1. Shipper yaitu pihak yang bertindak sebagai beneficiary.
  2. Consignee yaitu pihak yang diberitahukan tentang tibanya barang-barang
  3. Notify party yaitu pihak yang ditetapkan dalam L/C
  4. Carrier yaitu pihak pengangkutan atau perusahaan pelayaran

C. FUNGSI POKOK B/L


B/L memiliki fungsi antara lain:
  1. Bukti tanda penerimaan barang, yaitu barang-barang yang diterima oleh pengangkut (carrier) dari shipper (pengirim barang atau eksportir) ke suatu tempat tujuan dan selanjutnya menyerahkan barang-barang tersebut kepada pihak penerima (consignee atau importir)
  2. Bukti pemilikan atas barang (document of title) , yang menyatakan bahwa orang yang memegang B/L merupakan pemilik dari barang-barang yang tercantum pada B/L/
  3. Bukti perjanjian pengangkutan dan penyerahan barang antara pihak pengangkut dengan pengiriman.

D. PEMILIKAN BILL OF LOADING (B/L)


Kepemilikan suatu B/L dapat didasarkan kepada beberapa hal antara lain:

1. B/L atas pemegang (Bearer B/L)
Jenis B/L ini jarang digunakan. Yang dimaksud dengan “bearer” adalah pemegang B/L dan karena itu setiap orang yang memegang atau memiliki B/L tersebut dapat menagih barang-barang yang tersebut pada B/L. Jenis ini mencantumkan kata “bearer” di bawah alamat consignee.
2. Atas nama dan kepada order (B/L made out to order)
Pada B/L ini akan tercantum kalimat “consigned to order of” di depan atau di belakang nama consignee atau kepada notify address. Biasanya syarat B/L demikian ini ditandai dengan mencantumkan kata order pada kotak consignee pada B/L yang bersangkutan.
Pemilikan B/L ini dapat dipindahkan oleh consignee kepada orang lain dengan endorsement yaitu menandatangani bagian belakang B/L tersebut.
3. B/L atas Nama (straight B/L)
Bila sebuah B/L diterbitkan dengan mencantumkan nama si penerima barang (consignee) maka B/L tersebut disebut B/L atas nama (straight B/L). Pada straight B/L menggunakan kata-kata “consigned to” atau “to” yang diletakkan diatas alamat dari consignee tersebut. Apabila diinginkan pemindahan hak milik barang-barang tersebut maka haruslah dengan cara membuat pernyataan pemindahan hak milik yang disebut declaration of assignment, dan bilamana dilakukan endorsement maka pemindahan pemilikan tersebut tidak dianggap berlaku.

E. JENIS-JENIS B/L


Suatu B/L dapat dibedakan berdasarkan penyataan yang terdapat pada B/L tersebut, dibagi menjadi beberapa jenis antara lain:

1. Received for Shipment B/L
B/L yang menunjukkan bahwa barang-barang telah diterima oleh perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, tetapi belum benar –benar dimuat atau dikapalkan pada batas waktu yang ditetapkan dalam L/C yang bersangkutan. Resiko yang mungkin akan terjadi pada B/L jenis ini adalah:
  • Kemungkinan barang akan dimuat dengan kapal lain.
  • Bila terjadi pemogokan, barang-barang tersebut terbengkalai dan rusak.
  • Kemungkinan penambahan ongkos atau biaya lain seperti sewa gudang dan sebagainya.
2. Shipped on Bard B/L
B/L yang dikeluarkan apabila perusahaan perkapalan yang bersangkutan mengakui bahwa barang-barang yang akan dikirim benar-nebar telah berada atau dimuat diatas kapal.
3. Short Form B/L
B/L yang hanya mencantumkan ctatan singkat tentang barang ynag dikapalkan (tidak termasuk syarat-syarat pengangkutan).
4. Long Form B/L
B/L yang memuat seluruh syarat-syarat pengangkutan secara terperinci.
5. Through B/L
B/L yang dikeluarkan apabila terjadi transhipment akibat dari tidak tersedianya jasa langsung ke pelabuhan tujuan.
6. Combined Transport B/L
B/L yang digunakan pada saat terjadi transhipment dilanjutkan kemudian dengan pengangkutan darat.
7. Charter Party B/L
B/L yang digunakan apabila pengangkutan barang menggunakan “charter” (sewa borongan sebagian / sebuah kapal).
8. Liner B/L
B/L yang dikeluarkan untuk pengangkutan barang dengan kapal yang telah memiliki jalur perjalanan serta persinggahan yang terjadwal dengan baik.
FUNGSI-FUNGSI B/L:

1. Document of Receipt / Received Of The Goods! : Tanda Terima Barang atau Muatan
2. Contract of Carriage / Kontrak Pengangkutan.
3. Document of Title / Title Document / Bukti Kepemilikan Barang atau Pihak Yang Berhak Mengambil Barang di Pe!abuhan Pembongkaran
JENIS/MACAM B/L:

- ORDER B/L: B/L atas perintah (order) yang menyatakan barang daiam B/L diterima menurut perintah pengirim (shipper) yang namanya tercantum dalam B/L. Penerima Barang (consignee) dapat  memindahkan hak atas barang dalam B/L kepada pihak lain.
– NEGOTIABLE B/L: B/L yang dapat diperdagangkan / mencantumkan kata “order” (…. consignee or order). Cara pemindahannya kepada penerima dengan rneng-endorsed / endorsement.
– STRAIGHTB/L: B/L atas nama (nama penerima barang / consignee). Not Negotiable / tidak dapat diperdagangkan atau mengalihkan dengan cara endorsement.
– DOMESTIC B/L: B/L untuk pengangkutan regional atau lokal.
– DIRECT B/L: B/L yang berlaku untuk pengangkutan barang ekspor oleh perusahaan pelayaran samudra.
– THROUGH B/L: B/L yang beriaku atas barang yang diangkut oleh kapal pengangkut pertama (First Carrier) laIu diteruskan oleh pengangkut kedua (Second Carrier) ke pelabuhan tujuan. Seluruh pengangkutan tersebut (first & second carrier) hanya menggunakan satu B/L.
– SHIPPED B/L: B/L yang dikeluarkan oieh pengangkut untuk barang yang telah dimuat kedalam kapal.
– TO BE SHIPPED B/L (RECEIVED FOR SHIPMENT): B/L yang barangnya telah diterima pengangkut (disimpan dalam gudang pengangkut atau gudang / tempat yang ditunjuk pengangkut) namun barang belum dimuat kedalam kapal.
– CLEAN B/L: B/L bersih. Tidak ada catatan pihak pengangkut mengenai penyimpangan / kerusakan / kekurangan barang atau pengepakan / kemasannya pada B/L dimaksud.
– FOUL B/L or UNCLEAN B/L: B/L kotor atau kebalikan Clean B/L. Pada B/L terdapat catatan pengangkut mengenai penyimpangan / kerusakan / kekurangan barang atau pengepakan / kemasannya pada B/L.
– COMBINED TRANSPORT B/L: B/L yang meliputi pengangkutan barang dengan menggunakan lebih dan satu jenis alat pengangkutan.
– GROUPAGE B/L: Groupage B/L dipergunakan oleh forwarder dengan mengumpulkan beberapa jenis barang dan berbagai shipper dan mengirimnya sebagai satu kesatuan. Pengangkut mengeluarkan “groupage B/L” terhadap forwarder. Untuk masing-masing shipper pihak forwarder menerbitkan House Bill of Lading.
BAGIAN-BAGIAN DALAM B/L:

1. Shipper (pengirim)
Pengirim biasanya adalah pihak yang mula-mula menyiapkan bill of lading dan memberikan perincian dan barangnya yang diperlukan. Dimana Hague, Hague- Visby Rules atau Hamburg Rules  diberlakukan, pengirim wajib mendapat keterangan peraturan yang berlaku bila barangnya dikapalkan. Sebaliknya, pengirim berkewajiban memberi keterangan yang jelas mengenai barangnya dan
bila keterangannya tidak benar dapat mendapat tuntutan dan kapal sebagai carrier (pengangkut).
2. Consignee (penerima)
Keterangan mengenai pihak penerima bukan urusan kapal, namun persoalan antara penjual barang (biasanya shipper) dan calon pembeli barang. Tergantung dan transaksi perdagangan dan barang, didalam kotak untuk consignee dalam bill of lading dapat ditulis “bearer” atau “holder” atau juga dapat disebut “nama dan consignee”, “to order” atau kotaknya dibiarkan kosong. Semuanya itu
menunjukkan cara pemindahan kepemilikan dan GIL dan pengawasan dan penenimaan barang.
 
3. Notify Address (pemberitahuan ke alamat)
Notify Address adalah alamat atau nama danpihak yang shipper minta kepada pemilik kapal (carrier)untuk diberi tahu bila kapal sampai di tempat pembongkaran barangnya. Biasanya notify address adalah consignee atau agen yang diminta untuk menenima barang bila kapaltiba. Notify address dapat juga berupa sebuah bank.
 
4. Vessel (kapal)
Nama dan kapal yang mengangkut barang harus ditulis. Hal ini perlu dalam bill of lading untuk memberi tahu bahwa barang telah diangkut secara fisik dan seller (penjual) kepada buyer (pembeli). Contoh yang diberikan adalah bill of lading dari PT Djakarta Lloyd, yang mengadakan pelayaran tetap ke Australia. Barang diangkut terlebih dahulu ke Singapura, dengan kapal induk petikemas yang
merupakan aliansi dari [Djakarta Lloyd dengan beberapa perusahaan perkapalan lainnya.
Oleh karena itu, terdapat 2 kotak isian yakni yang diatas untuk kapal yang berlayar dan Indonesia ke Singapura dan kotak kedua untuk Intended Ocean Vessel dari Singapura ke Australia.
Place of Receipt adalah tempat bill of lading diterima oleh perusahaan pelayaran, misalnya, penenimaan GIL di Kanton Pusat Djakarta Lloyd di Jakarta.
Port of Loading adalah tempat dan pemuatan barang. Penting untuk mengetahui tempat asal (origin) dan barang yang dikapalkan. Tempat asal barang adalah penting untuk diketahui oleh pembeli barang (buyer). Hal ini sesuai dengan peraturan dalam Hague atau Hague-Visby Rules. Sebagai contoh, port of Ioadingnya adalah Tanjung Pniok.
Port of Discharge (Ocean Vessel) dalam bill of lading biasanya disebut hanya satu pelabuhan bongkar. Dimana pelabuhan bongkar sudah dltunjuk dalam B/L, pemilik kapal harus meiayarkan kapalnya kesana kecuali terhalang oleh keadaan yang membahayakan kapalnya. Untuk melayarkan ke tujuan lain disebut kapalnya telah melakukan deviasi. Tempat pembongkaran juga harus diperhatlkan agar jangan disana berlaku ketentuan Hamburg Rules.
Dalam contoh B/L ml, Port of Discharge (Ocean Vessel) adalah Merbourne. Port of Delivery dalam contoh adalah sebuah CY di Melbourne.
 
5. Shipper’s Description of Goods Dalam contoh dibagi dalam
• Marks & Numbers
• Number of Containers or other Packages, Pieces or Units
• Description of Goods
• Container Numbers
• Gross Weight
• Measurement
Sesuai Hague, Hague-Visby atau Hamburg Rules, shipper berhak untuk memlnta kepada kapal untuk mengeluarkan bill of lading yang memberikan perincian mengenai barang yang dimuat.
Dengan melihat bill of lading, buyer dapat mengetahui barang yang ada di kapai.
Keterangan yang lebih rinci tentunya sangat diperlukan untuk melakukan pembellan dalam perdagangan.
Perlncian mengenal muatan ml yang serlng menimbulkan persoalan dan pengangkut hanya mengetahui keadaan dan luar saja. Oleh karena ltu ada lstllah
• Shipper’s load and count
• Apparent good on/er and condition
• Said to weight .dll
 
6. No. of Original Bills of Lading
Secara tradlslonal, jumlah bill of lading yang dikeluarkan terdiri dari satu set dengan 3 (tiga) Iembar B/L. Namun demikian, hal ltu bukan suatu ketentuan. Jumlah B/L yang ada dlsebut dalam kotak ml yang blasanya dalam B/L Ialnnya Juga akan tenletak dl kotak sebelah kanan di tengah.
 
7. Shipped on Board
Shipped at the Port of Loading In apparent good order on board the vessel for carriage to the Port of Discharge or so near thereto as she may safely get the goods specified above.
Bahwa shipper yang mendapat bill of lading demlkian, belum menentukan bahwa barangnya sudah dlmuat dlatas kapal. Barang itu mungkin masih berada dalam gudang dan perkapalan dan menunggu pemuatan keatas kapal.
Tanggung jawab sepenuhnya berada pada pihak carrier, namun Date (tanggal) bahwa barang betul sudah berada diatasnya sebaiknya diperhatikan.
For the Carrier dalam GIL PT Djakarta Lloyd adalah tanda tangan dan petugas perkapalan yang menyaksikan pemuatan barang keatas kapal.

 
8. Freight and Charges
Jumlah dan freight yang dibayar dapat tertera dafam kolom ini dan dapat juga tidak. Biasanya dituiis Freight Payable at Destination atau dapat juga ditulis Freight Prepaid.
 
9. B/L No.
Pada sebelah kanan atas ada kotak khusus untuk nomor dan bill of lading. Pada contoh diberi nomor sebagai reference untuk perusahaan pelayaran dan juga untuk shipper dan buyer.
 
10. For the Carrier, PT Djakarta Lloyd
By …………………………..~….. As Agent
Bilamana barang telah dimuat diatas kapal dan shipper telah melaksanakan kewajlban pembayaran blaya dan barangnya, sepentl freight, blaya terminal, bongkar/muat dan lainnya maka agen sebagai perwakllan dan perusahaan pelayaran akan membubuhkan tanda tangannya.

Tuesday, September 30, 2014

Pengangkutan dan Asuransi Penerbangan Komersial Udara

Definisi dan Pengertian Pengangkutan Penerbangan Komerisal atau Udara


I. PENGERTIAN HUKUM UDARA

1) Diederiks-verschoor
Hukum udara (air law) sebagai hukum dan regulasi yang mengatur pengunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia .

2) M. Le. Goff
Hukum udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik maupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional .

3) M.Lemoine
Hukum udara adalah cabang hukum yang menentukan dan mempelajari hukum dan peraturan hukum mengenai lalu lintas udara dan penggunaan pesawat udara dan juga hubungan-hubungan yang timbul dari hal tersebut .


Selain pengertian diatas menurut K. Martono ada juga pengertian lainnya menurut pakar yang mempunyai keyakinan bahwa hukum udara dan hukum ruang angkasa harus disatukan dalam cabang hukum tunggal, karena kedua bidang tersebut mewakili bidang hukum yang secara langsung maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang dilakukan manusia . Pengertian ini diawali karena terbitnya sebuah glossary Tahun 1995 oleh Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dimana ditemui sebuah definisi istilah ”Aerospace” yaitu :
”The earth’s envelope of air and space above it, the two considered as a single realm for activity in the flight of air vehicles and in the launching, guidance and control of ballistic missiles, earth satellites, dirigible space vehicles, and the like”.

Berdasarkan glossary ini john C. Cooper seorang ahli hukum udara, sampai pada suatu definisi istilah aerospace yaitu sebagai berikut :

“Keseluruhan prinsip dan ketentuan hukum yang berlaku dari waktu ke waktu, yang menentukan dan mengatur :

a.Aerospace (yang memakai definisi dari glossary);
b.Hubungan dengan daratan dan perairan diatas permukaan bumi;
c.Luas dan karakter hak-hak individu dan negara-negara untuk menggunakan dan ataupun mengontrol ruang tersebut, atau bagian daripadanya, atau benda-benda langit yang terdapat di dalamnya, untuk penerbangan-penerbangan atau tujuan lainnya ;

a.Penerbangan
b.Peralatan-peralatan dengan mana penerbangan itu dilakukan, yang meliputi nasionalitasnya, pemilihan, pemakaian atau kontrol;
c.Fasilitas-fasilitas di permukaan bumi yang memakainya berkaitan dengan penerbangan seperti bandar-bandar udara, tempat-tempat peluncuran atau pendaratan lainnya, fasilitas-fasilitas navigasi dan jalur penerbangan.

Hubungan-hubungan dari setiap hal yang berkenaan dengan atau antar individu, masyarakat atau negara-negara yang timbul dari keberadaan ataupun penggunaan tempat penerbangan (Aerospace), atau peralatan-peralatan ataupun fasilitas-fasilitas yang digunakan dalam kaitan itu atau untuk berhasilnya penerbangan itu”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapatlah ditarik suatu definisi hukum udara secara umum. Hukum udara merupakan keseluruhan norma-norma hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sabagai unsur yang diperlukan bagi penerbangan. Dengan kata lain, penerbangan merupakan objek kajian dalam hukum udara karena dalam kegiatannya menggunakan ruang udara sebagai medianya.

II. PENGATURAN HUKUM UDARA NASIONAL & INTERNASIONAL

Hukum udara secara nasional diatur dalam perjanjian, baik perjanjian multilateral maupun bilateral. Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya mengatur mengenai hak-hak penerbangan, rute penerbangan, kapasitas pengangkut udara, dan tarif jasa pengangkut udara . Materi perjanjian tersebut dipengaruhi oleh perjanjian udara bermuda tahun 1946 antara Inggris Raya dan Amerika Serikat . Konvensi bermuda tersebut memiliki karakteristik liberal dalam hal kapasitas angkutan udara. Konvensi bermuda 1946 pada kemudian hari menjadi sebuah acuan utama bagi setiap negara untuk menyusun perjanjian jasa pengangkut udara sipil komersil selain Chicago Standard form Agrement dan European Civil Aviation Conference Standard Form” .

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai berikut:

1. Paris Convention)
Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi chicago .

2. Konvensi Chicago
Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris . Konferensi yang dilaksanakan di Chicago tersebut telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :

1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7 Desember 1944)
2. Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit Agreement)
3. Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air Transport Agreement)

IATA dan IASTA merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yang mempertukarkan lima hak-hak penerbangan (Five Freedom on the Air) atau juga dikenal dengan lima kebebasan di udara, yang dipertukarkan dalam IASTA hak kebebasan Ke-1 dan Ke-2, yaitu sebagai berikut :

1) Hak untuk terbang melintasi wilayah Negara lain tanpa melakukan pendaratan.

2) Hak melakukan pendaratan di Negara lain untuk keperluan Operasioanl (Technical Landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan menurunkan penumpang dan/ ataupun kargo secara komersial.

Sedangkan hak kebebasan yang dipertukarkan dengan IATA adalah hak kebebasan Ke-1,2,3,4 dan Ke-5 . Hak kebebasan berikutnya adalah:

3) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari Negara pendaftar pesawat udara ke Negara pihak yang lainnya.

4) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara yang berjanji lainnya ke Negara pesawat udara yang didaftarkan.

5) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari atau negara ketiga diluar negara yang berjanji.

Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian udara timbal balik (Bilateral Air Transport Agreement). Secara teoritis terdapat delapan kebebasan di udara (Eight Freedom of the Air), namun dalam praktik hanya ada terdapat lima kebebasan di udara. Tiga kebebasan berikutnya, masing-masing kebebasan di udara ke-6,7 dan 8 yaitu sebagai berikut :

6) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara ketiga melewati Negara tempat pesawat udara didaftarkan kemudian diangkut kembali ke negara tujuan.

7) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial semata-mata diluar Negara-negara yang mengadakan perjanjian.

8) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam suatu wilayah Negara berdaulat dan ini dikenal dengan istilah ”Kabotase” (Cabotage). Cabotage merupakan hak preogratif Negara berdaulat untuk melakukan transportasi dalam negeri guna pemanfaatan perusahaan penerbangan nasional. Biasanya hak kabotase tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing manapun.

III. PERJANJIAN WARSAWA TAHUN 1929

Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :

1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara
2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.
Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai limit tanggung jawab ganti rugi .

IV. KONVENSI YANG MENGATUR MENGENAI KEJAHATAN DALAM PENGERBANGAN (HIJACKING)

Ada dua konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, yaitu :

a. Konvensi Tokyo tentang pelanggaran dan Tindakan tertentu lainnya dalam Penerbangan (Convention and Certain Other Acts Committe on Board Aicraft) Tahun 1963
Konvensi ini disebut juga dengan konvensi pembajakan udara. Tujuannya adalah untuk melindungi pesawat udara,orang, barang yang diangkut untuk menjamin keselamAtan penerbangan. Konvensi ini mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran maupun tindak pidana penerbangan serta mencegah terjadinya kekosongan hukum pada tindak pidana maupun pelanggaran di dalam pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di atas laut lepas/ atau daerah yang tidak bertuan .

Menurut konvensi Tokyo terhadap kejahatan dan pelanggaran di udara maka berlaku yurisdiksi dari Negara pendaftar pesawat udara yang terjadi dalam pesawat udara ”in flight” . Dalam konvensi ini yang disebut dengan in flight adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas sampai pesawat udara melakukan pendaratan di ujung landas pacu.

b. Konvensi The Haaque Tahun 1970
Konvensi tentang perlindungan pesawat udara dari tindakan melawan hukum (Convention for the Supression of Unlawfull Seizure of Aircraft) yang lebih dikenal dengan konvensi The Haaque Tahun1970 merupakan penyempurnaan dari Konvensi Tokyo 1963. Konvensi ini memperluas pengertian dari in flight yaitu sejak semua pintu luar ditutup diikiuti dengan embarkasi pesawat udara sampai semua pintu luar dibuka kembali diikuti dengan debarkasi penumpang (ketika semua penumpang telah turun). Berlakunya konvensi ini tergantung dari pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak bukan tergantung pada jenis penerbangannya.

Pengaturan hukum udara di indonesia merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan OPU No. 100 stb. 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian diubah dengan Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No.72 Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun 1992, terakhir disempurnakan dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab 466 Pasal.

Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada Tanggal 12 Januari 2009 Tentang Penerbangan sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena Undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam Cape Town 2001, berlakunya Undang-undang secara Extra-teritorial kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia , pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas , produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, asuransi pesawat udara , independensi investigasi kecelakaan pesawat udara , pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut Badan Pelayanan Umum (BLU) , pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur didalam Konvensi Cape Town 2001.

Berbagai jenis angkutan udara baik niaga maupun bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, kepemilikan modal harus Single Majority tetap berada pada warga Negara Indonesia, perusahaan penerbangan minimum mempunya 10 (sepuluh) pesawat udara, 5 (Lima) dimiliki dan 5 (Lima) dikuasai, komponen tarif yang dihitung berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya , ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (Third Parties Liability), tatanan kebandar udaraan baik lokasi maupun persyaratannya, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik dibidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara, maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (Single Air Service Provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara Nasional maupun Internasional.

Undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas .

Selain Undang-undang No.1 Tahun 2009, penerbangan juga diatur dalam Peraturan Menteri seperti Keputusan Menteri Perhubungan No.41 Tanggal 4 Desember 2001 tentang Peraturan Umum Pengoperasian Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter, Keputusan Menteri Perhubungan No. 75 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Standar Sertifikasi Personil Penerbangan, Keputusan Menteri Perhubungan No. 77 Tanggal 20 November Tahun 2000 Tentang Persyaratan–persyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi Perusahaan Ankutan Udara yang Melakukan Penerbangan Dalam Negeri Internasional dan Charter atau Kargo, Keputusan Menteri Perhubungan No. 78 Tanggal 2000 tentang Perawatan Preventif, Perbaikan dan Modifikasi Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 80 Tanggal 20 November Tahun 2000 tentang sertifikasi kecakapan bagi personil Perawatan Pesawat Udara. Dimana seluruh peraturan tersebut mengatur mengenai standar dan prosedur penerbangan yang telah dipersyaratkan.

Tinjauan umum tentang standar keamanan dan keselamatan penerbangan baik mengenai pengertian dari keamanan dan keselamatan penerbangan, kategori-kategori dari standar keamanan dan keselamatan penerbangan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan.

V. FAKTOR PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum terkait aspek keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia tidak dapat dilihat dari aspek hukum semata. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen. Komponen-komponen tersebut adalah :

1. Substansi hukum (legal substance), yaitu aturan-aturan dan norma-norma umum.
2. Struktur hukum (legal structure), yaitu penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara serta institusi yang melahirkan produk-produk hukum.
3. Budaya hukum (legal structure), yaitu meliputi ide-ide, pandangan-pandangan tentang hukum, kebiasaan-kebiasaan, cara bepikir dan berlaku, merupakan bagian dari kebudayaan pada umumnya, yang dapat menyebabkan orang mematuhi atau sebaliknya, menyimpangi apa yang sudah dirumuskan dalam substansi hukum.

Adapun menurut Soerjono Soekanto bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
3. faktor sarana maupun fasilitas, yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut berlaku.
5. Faktor kebudayaan, yaitu hasil kerja, cipta dan rasa yang dilandasi pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dengan demikian Standar keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia akan senantiasa memperhatikan kompleksitas dari aspek-aspek dan faktor penegakan hukum itu sendiri baik berdasarkan Hukum Nasional maupun Hukum Internasional.

VI. BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL KE HUKUM NASIONAL

Berkaitan dengan berlakunya kaidah hukum internasional ke dalam hukum nasional menurut Mochtar kusumaatmadja , Indonesia tidak menganut teori transformasi yaitu mentransformasikan terlebih dahulu ketentuan hukum internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Di sisi lain Indonesia juga tidak menganut sistem in korporasi sebagaimana dianut Inggris dan Amerika serikat, dimana hukum internasional dianggap merupakan bagian dari hukum negara , hukum internasional juga secara otomatis berlaku sebagai hukum negara sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan nasional Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia langsung terkait terhadap konvensi atau perjanjian yang telah disahkan, tanpa terlebih dahulu membuat undang-undang pelaksananya. Namun untuk beberapa hal mutlak diperlukan undang-undang sendiri.
Adapun berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional telah diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dalam Pasal 5 dinyatakan :
1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan Presiden, Pemerintah Indonesia dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penendatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian tersebut.

2) Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut

Selanjutnya mengenai berlakunya perjanjian internasional yang memerlukan ratifikasi melalui undang-undang, menurut Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang berkenaan dengan :

a. Masalah politik, perdamaian dan keamanan negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara.
c. Kedaulatan dan hak berdaulat negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaedah hukum baru, dan
f. Pinjaman/hibah luar negeri.

Berdasarkan pada Undang-undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional tersebut, telah ditentukan jenis-jenis perjanjian yang digolongkan sebagai treaty dan agreement. Treaty memerlukan pengesahan dari DPR, sedangkan agreement tidak memerlukan pengesahan DPR, cukup pemberitahuan saja dari Pemerintah kepada DPR untuk diketahui.
Ada sejumlah instrumen hukum internasional yang berkenaan hukum udara. Keterikatan Indonesia atas sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang standar keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia tidak hanya dapat dilihat berdasarkan pandangan Mochtar Kusumaatmadja dan ketentuan Undang-undang No. 24 Tahun 200 Tentang Perjanjian Internasional, namun melalui teori Hans Kelsen yang berpijak pada suatu asas pacta sunt servanda suatu negara terikat untuk melaksanakan norma-norma hukum internasional dalam hukum nasionalnya dapat dikembalikan pada hakikat suatu perjanjian itu sendiri untuk dilaksanakan itikad baik .


Asuransi dan Pengangkutan Penerbangan Komersial dan Udara


A. SUMBER SERTA DASAR HUKUM ASURANSI UDARA

   Asuransi udara melindungi pihak tertanggung pada umumnya terhadap bahaya-bahaya yang disebabkan atau yang berkaitan dengan digunakannya pesawat udara. 
Pada umunya asuransi udara dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Asuransi orang, yaitu penumpang serta awak pesawat (personal insurance),
2. Asuransi kebendaan (property insurance),
3. Asuransi pertanggungjawaban (liability insurance).
Perkembangan polis Asuransi udara sedapat mungkin mengambil contoh dari bentuk-bentuk polis asuransi yang lain. 
Perjanjian asuransi udara dikuasai oleh ketentuan-ketentuan mengenai asuransi pada umunya, berarti berlaku ketentuan-ketentuan dalam BAB IX Buku Kesatu KUHD.Perjanjian asuransi merupakan perjanjian kemungkinan (kansovereenkomst) dengan pasal 1774 KUH Perdata sebagai dasar hukumnya, yang berbunyi:
”suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah:1) perjanjian pertanggungan, 2)bunga cagak hidup, 3)perjudian serta pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur didalam KUH Dagang ”.
Perjanjian terbentuk cukup dengan tercapainya kata sepakat, serta perjanjian asuransi termasuk bentu konsensual pasal 255 jo 257 KUHDagang yang berbunyi ” Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”.


Pasal 1 butir 1&13 UU No.15 Thn 1992

“Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait”
“Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara” 
Berdasarkan pasal diatas dapat di simpulkan bahwa penerbangan itu tidak hanya berkaitan dengan bandara, pesawat melaikan harus ada jaminan keselamatan terhadap para penumpang 

Pasal 1 butir 6 UU No.3 thn 1992

“Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui”.
Berdasarkan pasal diatas yang menyangkut kecelakaan kerja adalah dimana pada saat pesawat menutup pintu untuk lepas landas sampai pesawat itu tinggal landas dan membuka kembali pintunya.

Pasal 1 butir 1 UU No.2 tahun 1992
“Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Bedasarkan pasal di atas bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian antara pihak kesatu dan pihak kedua atau pihak tertanggung dan penanggung dengan menggunakan alat bukti

B. SUBJEK-SUBJEK HUKUM DALAM ASURANSI UDARA

   Adapun pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan angkutan udara adalah sebagai berikut:
1. Pihak Penanggung
b. Pengangkut udara
c. Penumpang
1. Pihak Tertanggung
A, Pemilik kargo termasuk pos
b. awak pesawat udara
c. Pengelola bandar udara, dan 
d. Pembuat pesawat udara.

C. MACAM-MACAM ASURANSI UDARA

   Berdasarkan perbedaan pihak tertanggung yang menutup asuransi, perbedaan kepentingan serta objek bahaya, asuransi udara dapat dibagi menjadi;

a. Manufacture Insurance
Manufacture Insurance (Pembuat Pesawat Udara) dapat menutup asuransi dengan cara: 
1. Dalam hal ini pihak fabrikan pertama bisa mengausuransikan kompleks fabrikan pesawat dengan asuransi kebakaran.
2. Terhadap yang telah selesai dibuat serta disimpan di hanggar, diasuransikan casco insurance.
3. Terhadap ketepatan waktu produksi berdasarkan pesanan, diasuransikan dengan product insuransce.
4. Penyerahan dari penjualan pesawat ditutup dengan leveringverzekering.
5. Lepas jual dalam masa tertentu ditutup dengan guarantee insurance atau construction insurance.
6. Selain itu pihak fabrikan bisa menutup test insurance, tentoonstelling-verzekering, acrobaticverzekering dan races-verzekering.
7. Dia samping manufacture insurance yang objeknya pesawat, bisa juga manufacture insurance yang objeknya bahan bakar untuk pesawat udara.
Jenis asuransi dimaksud termasuk golongan asuransi kerugian, dan belum mendapat pengaturan baik dalam Ordonansi Pengangkutan Udara stb 1939 Nomor 100 maupun dalam UU No 15 tahun 1992.

b. Hull Insurance atau Casco Insurance
Hull insurance (Asuransi pesawat udara), yang dapat ditutup untuk tubuh pesawat itu sendiri baik terhadap risiko kerusakan, kehancuran (total loss) maupun keadaan tidak dapat dipergunakan (loss of use).
Jenis asuransi ini belum mendapat pengaturan baik dalam Ordonansi Pengangkutan Udara Stb 1939 No 100 maupun dalam UU No 15 tahun 1992 tentang penerbangan. Akan tetapi, dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SK/13/S/1971 tanggal 188 Januaru 1971tentang syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan mengenai Penggunaan Pesawat Terbang secara Komersal di Indonesia, disebutkan antara lain untuk mendapatkan izin operasi atau konsesi perusahaan yang bersangkutan harus mengajukan surat permohonan kepada Menteri Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Disebutkan selanjutnya bahwa surat permohonan tersebut harus memuat keterangan, antara lain mengenai asuransi pesawat, penumpang, dengan pihak ketiga. Memperhatikan ketentuan di atas, tersimpul bahwa pengangkut udara harus mengasuransikan pesawatnya agar diizinkan untuk beroperasi.

c. Crew Insurance
Asuransi awak pesawat udara mempunyai kepentingan untuk mengasuransikan awak pesawatnya, karena berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya, pengangkut udara sebagai majikan bertanggung jawab atas keselamatan, serta kesejahteraan pekerjanya. Di samping itu, pengangkut udara akan menderita kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang apabila terjadi kecelakaan yang menimpa awak pesawatnya. Dewasa ini diatur mengenai kewajiban pengangkut udara untuk mengasuransikan awak pesawatnya yaitu dalam Pasal 48 UU No 15 tahun 1992. kewajiban untk menutup asuransi bagi awak pesawat udara dimaksud disertai ancaman sanksi berupa ancaman pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda setinggi-tingginya 36 juta rupiah (Pasal 1 UU No 15 tahun 1992).
Undang-undang No 3 tahun 1992 mewajibkan kepada setiap perusahaan/pengusaha untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang bersangkutan meliputi:
1. jaminan kecelakaan kerja,
2. jaminan kematian,
3. jaminan hari tua,
4. jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pasal 29 Undang-undang No 3 tahun 1992 kemudian memberikan sanksi kepada pelanggar ketentuan dimaksud, yaitu berupa hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi-tingginya 50 juta rupiah.

d. Liability Insurance (Asuransi Pertanggungjawaban)
Dalam kedudukannya sebagai pihak yang menyelengaarakan jasa angkutan udara, pengangkut bertanggung jawab terhadap kerugian yang menimpa penumpang, pemilik barang/pos, pemilik bagasi dan pihak ketiga (Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) UU No 15 tahun 1992). Kecuali tanggung jawab terhadap pihak ketiga, Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 28 Ordonansi Pengangkutan Udara Stb 1939 Nomor 100 mangatur hal sama mengenai pertanggung jawaban pengangkur udara tersebut.
Berdasarkan hal dia atas, pengangkut udara mempunyai kepentingan untuk menutup:
1. asuransi pertanggungjawaban terhadap penumpang,
2. asuransi pertanggungjwaban terhadap bagasi tercatat/kargo/pos yang diangkutnya,
3. asuransi pertanggungjawaban terhadap kerugian karena kelambatan,
4. asuransi pertanggungjwaban terhadap kerugian yang menimpa pihak ketiga.
Dalam Undang-undang No 15 tahun 1992, asuransi pertanggungjawaban yang dimaksud dia atas diatur sebagai asuransi wajib yang disertai sanksi bagi pelangarnya (Pasal 47 jo 70 UU No 15 tahun 1992). Keadaan demikian tidak terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara Stb 1939 Nomor 100.

e. Personal Accident Insurance (Penumpang Pesawat Udara)
Penumpang mempunyai kepentingan untuk menutup asuransi kecelakaan bagi dirinya meskipun pengangkut udara telah menutup asuransi pertanggungjwaban terhadap penumpang tersebut. Dengan demikian, kepentingan asuransi yang ditutup oleh penumpang dengan kepentingan yang ditutup oleh pengankut udara tidak sama, sehingga penutupan asuransi oleh penumpang untuk dirinya tidak dilarang. Adapun alasan penutupan asuransi sendiri oleh penumpang adalah:
1. dianutnya prinsip pertanggungjawaban berdasarkan praduga (presumption of liability) sebagaimana dianut dalam Pasal 29 Ordonansi Pengangkutan Udara Stb 1939 Nomor 100 memungkinkan pengangkutan untuk membebaskan dirinya dari pertanggungjwaban.
2. adanya pembatasan pertanggungjwaban pengangkut (limitation of liability) seperti yang diatur dalam pasal 30 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara, menunjukkan bahwa krugian dia atas limit tersebut perlu untuk diasuransikan.

Asuransi yang ditutup oleh penumpang ini adalah asurasni kecelakaan diri yang khusus untuk satu kali perjalanan yang diulai dari tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan. Dengan ditutupnya asuransi kecelakaan diri oleh penumpang terebut, akan diberikan santunan apabila penumpang tersebut meniggal dunia, cacat atau memerlukan biaya-biaya perawatan.
Asuransi kecelakaan diri yang ditutup oleh penumpang pesawat udara terdiri dari 2 macam yaitu:
1. asuransi wajib yang juga menrupakan asuransi social sebagaiman diatur dalam UU No 33 tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah No 17 tahun 1965 tentang Dana Pertangguangan Wajib Kecelakaan Penumpang. Asuransi wajib ini berlaku bagi setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, angkutan laut dan angkutan udara.
2. asuransi sukarela yang ditutup olej kesadaran dan kehendak penumpang sendiri, sehingga jenis asuransi ini diadakan dia luar pengetahuan pengangkut.

f. Cargo Insurance (Auransi Kargo)
Pemilik bagas tercatat, pemilik kargo termasuk pos mempunyai kepentingan terhadap kerugian yang menimpa barang kirimannya. Oleh karena itu, secara sukarela, pemilik barang ini dapat menutup asuransi atas beban sendiri melalui asuransi pengangkutan. Hal-hal yang mendorong ditutupnya asuransi demikian antara lain karena adanya pembatasan-pembatasan tanggung jawab pengangkut, terutama jumlah ganti ruginya. Akan tetapi, dengan ditutupnya asuransi kargo oleh penumpang ini tidak akan menghilangkan atau mengurangi pertanggungjawaban pengangkut udara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

D. PERHITUNGAN PREMI DALAM ASURANSI

    Premi asuransi udara dapat dihitung dengan dua cara, yaitu dengan tarif tetap atau penutupan tia-tiap kejadian.
Untuk menentukan besar kecilnya risiko, dipengarhui oleh beberapa penlaian seubjektif, seperti kemampuan dari pilot, bagaimana caranya mempergunakan pesawat serta fasilitas-fasilitas lapangan terbang yang ada, serta lain-lain, yang menyebabkan tidak mudahnya menentukan ukuran yang tetap akan besarnya premi
Untuk penerbangan percobaan biasanya premi dibayar untuk waktu satu tahun, untuk terbang penyerahan premi diperhitungkan untuk tiap penerbangan. Bisa juga premi dihitung menurut jam terbang seperti pada penerbangan percobaan rutin.

E. PASAL YANG BERKAITAN DENGAN PENERBANGAN KOMERSIAL

   Berdasarkan UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009

  • Pasal 55 : "Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjaga keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan".
Kewenangan Pilot in Command (PiC) selama penerbangan bersifat mutlak sejalan dengan Tokyo      Convention sesuai International Civil Aviation Organization (ICAO) serta Civil Aviation Safety Regulation (CASR). Termasuk didalamnya menahan seseorang, menolak atau menurunkan orang dan muatan pada suatu bandara, bahkan melanggar suatu prosedur jika menurut pertimbangannya justru akan mengancam keselamatan dan keamanan penerbangan saat itu.


Dalam dunia penerbangan juga ada istilah As Captain Discretion (SCD) yaitu memutuskan segala sesuatu yang tidak atau belum diatur dalam regulasi.

Yang dimaksud “selama terbang” seringkali dipahami sebagai saat sebuah pesawat terbang menutup pintu, menyalakan mesin, bergerak sampai pesawat berhenti, mematikan mesin dan membuka pintu (door closed until door open) untuk tujuan (intensi) terbang.

Sedemikian besar kewenangan PiC tentunya dibarengi dengan tanggung jawab untuk semua hal yang terjadi dalam penerbangan. Kewenangan yang dimasuksud bukan kewenangan mutlak seperti dikator karena segala tata-cara pengoperasian pesawat terbang telah diatur secara rinci dalam berbagai manual dan regulasi. Kewenangan tsb hanya untuk melaksanakan dan menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, bukan berlaku untuk hal-hal lain.
  • Pasal 56 ayat (1) : "Dalam penerbangan dilarang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan darurat pada pintu dan jendela darurat pesawat".
  • Pasal 56 ayat (2) : "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
                   a. peringatan
                   b. pembekuan sertifikat; dan/atau
                   c. pencabutan sertifikat.


Hanya penumpang dalam kategori “Able Body Passenger” (ABP) yang diperkenankan menempati tempat duduk yang berada di dekat pintu darurat atau jendela darurat (Emergency Exit). Area kursi emergency exit adalah deretan kursi atau kursi yang langsung berdekatan dengan emergency exit tanpa dipisahkan oleh sebuah lajur gang (isle) dalam pesawat.


ABP adalah orang yang cukup dewasa,sehat, tidak buta warna, mampu membaca dan diharapkan dapat membantu awak pesawat untuk membuka pintu atau jendela ketika timbul kondisi darurat sesuai peintah awak pesawat. Sehingga orang tua (lanjut usia), cacat, anak-anak tidak diperkenankan menempati kursi-kursi tersebut. Di GA, kursi-kursi ini disebut “the Last Saleable Seat” artinya sebisa mungkin tak terisi atau justru diprioritaskan untuk orang yang dinilai sebagai ABP oleh petugas Check-In. Awak Kabin berhak memindahkan penumpang yang duduk di kursi emergency jika menurut penilaiannya tak memenuhi syarat ABP. Penumpang selanjutnya diberi pengarahan khusus baik tertulis maupun lisan untuk mengoperasikan pintu atau jendela darurat .

Penumpang seringkali “memesan” kursi-kursi emergency karena mempunyai ruang kaki (leg room) yang lebih longgar. Sekedar catatan, berat jendela darurat B737 sekitar 45 kilogram dan harus diangkat serta dilempar ke atas sayap ketika sebuah evakuasi dibutuhkan dalam kondisi darurat.